Klo kata bokap gw nih, "smua masalah dlm kehidupan itu  bukanlah perkara 'benar dan tidak benar', tapi perkara 'tepat dan  tidak tepat', karena semuanya berhubungan dengan waktu". Segala sesuatu  yang tidak tepat pada akhirnya akan membawa kita kejurang kesalahan, dan  semakin jauh kita membawa 'ketidak-tepatan' itu, maka kondisinya akan  semakin salah. Sialnya, disaat kita sudah 'mengerti' bahwa kita sedang  berjalan di atas rel yang 'tidak tepat', ujung-ujungnya ya cuma; 'sampai  kapan/sejauh apa kita bisa kuat dan tahan aja' - biasalah, kaya orang  yang suka nahan-nahan boker, 'makin mepet-makin seru', ujung-ujungnya ya  'itu-itu' juga yang keluar. Cuma perkara waktu. Dan 'lagi2 realita sebuah idealisme' kalau rel yang tidak tepat itu adalah 'comfort zone' kita, dan  rel itu bisa apa aja, siapa aja, dimana aja, kapan aja, dan gimana aja.
'Tidak-tepat'  itu sendiri juga perkara waktu, ibarat nyetir mobil; blom saatnya belok  kanan, eh malah belok duluan - atau sudah saatnya pindah gigi, eh masih  aja di gigi tiga. Perkara waktu - kecepetan atau kelamaan, hal ini  sering banget jadi masalah, dan biasanya berujung pada penyesalan, "duh  harusnya dulu gua 'gini' tuh" - "akh gila, bener kan yang gua pikirin" -  "kenapa ga dari dulu aja gua 'gini', tau gitu...". Didalam kancah liga  anak muda, yang gini-gini sering banget terjadi.
Ketidak-tepatan  didalam 'comfort zone' adalah sesuatu yang biasa aja, tapi ngeselin.  Fenomena ini sering banget terjadi, dan kita pun sudah terbiasa  mengalaminya. Ga perlu jauh-jauh - coba yuk kita tengok sedikit dua  'major' ke-anak mudaan; eksistensi dan tek-tek bengek percintaan. Anak muda  dengan segala atribut 'persaingan' ternyata membuka peluang bagi si  'ketidak-tepatan' untuk merajarela.
Ajang  persaingan dalam urusan eksistensi adalah hal yang sangat manusiawi,  tapi kalau dipikir-pikir ternyata sangat komedi. Sering kali anak muda  menemukan 'comfort zone'-nya didalam sebuah komunitas. Apapun itu  komunitasnya, yang jelas hal ini sangat berpengaruh terhadap perilakunya  masing-masing. Tidak mungkin ada 'sesuatu' ('pria jantan + asik' pake  scarf 'salahudin' + jaket kulit + kaca mata 'kotak frame hitam' + sepatu  boots - atau, gerombolan wanita yang saking santainya pake 'baju  pantai' ke mall, 'tapi tetep pake scarf') kalau tidak ada komunitas yang  memulainya, dan komunitas yang menganggap hal tersebut adalah sesuatu  yang 'keren dan wajar'.
Peran  komunitas sangat besar bagi seseorang, dan 'comfort zone' mungkin  dimulai ketika dengan tanpa disadari kita merasa telah menjadi bagian  dari sistim/siklus dalam komunitas tersebut. Terlebih lagi bila  komunitas-nya telah menilai orang itu sebagai 'seseorang'; "wah, dia sih  emang idealis, pinter banget" - "wah, dia emang gesrek parah, mabok  mulu" - "dia cantik banget, cowonya juga ganteng" - "wah, orang-orang  itu emang selara musiknya beda banget" - "hebat ya dia, bisa kerja di  perusahaan itu" - "gila hebat banget, masih muda udah pameran tunggal" -  "dia sih udah enak, gaji nya gede banget" - "emang anak band banget nih  orang" dll. Terkadang opini-opini seperti itulah yang membuat 'comfort  zone' kita semakin meraja. Ada semacam tanggung jawab untuk  mempertahankan predikat tersebut, karena identitas itulah yang diketahui  orang-orang, dan dengan itu kita bisa merasa 'lebih' dibanding orang  lain. Disaat itu, perkara 'tepat' dan 'tidak tepat' bukanlah suatu  masalah, karena tidak ada yang tahu selain kita sendiri - walaupun  banyak banget pertanyaan didalam hati, seperti; "sampai kapan gua jadi  anak band?" - "sampai kapan gua mabok-mabokan?" - "sampai kapan gua  kerja dikantor bagus ini?" - "sampai kapan gua freelance?" - "sampai  kapan gua minta duit ke bokap?" - "sampai kapan gua kuliah?" - "sampai  kapan harus beli tas chanel yang mahal ini terus?" - "sampai kapan gua  harus mikirin velg mobil?" - "sampai kapan gua harus dengerin lagu-lagu  yang gua ga suka?" - "sampai kapan gua harus dandan nyentrik?" - "bla  bla bla?". Segitu hebatnya peran komunitas, sehingga sering timbul  pertanyaan-pertanyaan 'pendek tapi berat' seperti itu. Tema eksistensi  memang selalu banyak cerita.
Berjalan  dan menari diatas rel yang 'pasti' adalah suatu anugerah, karena tidak  semua orang punya akses untuk rel seperti itu. Tetapi apakah hal yang  pasti itu adalah jalur yang tepat? belum tentu. Berbicara pada saluran  'hati' memang jauh lebih mudah dari pada harus bertindak. Saking  sulitnya bertindak, tanpa disadari sebenarnya kita sedang berhadapan  dengan 'waktu', satu-satunya hal eksak di bumi selain uang. Dan karena  ulah si 'waktu', perkara 'hati' dalam 'comfort zone' biasanya semakin  rumit. Terlalu lama atau terlalu cepatnya dialog antara hati dengan  otak, bukanlah suatu ukuran pasti yang akan membawa sesuatu menjadi  'tepat'. Disaat kita nyaman dengan suatu kondisi - apapun itu/siapa pun  itu - biasanya 'peduli setan' walaupun ada petir samping kuping, atau  ada anjing pitbull depan mata - semuanya ga kedengeran, semuanya ga  kelihatan. Semua itu ga ada apa-apanya dibanding nilai rasa nyaman yang  lagi kita rasakan. Tapi disaat hati dan otak mulai kompromi, dengan  mudah terkadang kita tahu bahwa yang sedang kita pertahankan itu adalah  sesuatu yang tidak tepat. Dan ngomong-ngomong perkara 'waktu',  pertanyaannya adalah "sampai kapan kita akan membawa 'ketidak-tepatan'  itu?".
Banyak sekali  pembelaan yang kita rangkai hanya untuk terlihat 'tepat'. Selalu  berlindung dibalik kata 'hati' / berlindung dibalik kata 'kriteria' /  berlindung pada anggapan, harapan, dan 'mencoba/memberi kesempatan  kedua', dll - ketika kita mengerti bahwa pasangan kita tidak seperti  yang kita butuhkan, ketika kita berfikir bahwa kita layak untuk  mendapatkan orang yang lebih baik dari 'dia', ketika kita 'terlanjur  sayang' pada orang yang salah, ketika kondisi tidak memungkinkan untuk  terus 'berjalan'. Kondisi itu kita pertahankan dengan segala pembelaan  untuk meyakinkan orang lain bahwa kita sedang melakukan hal yang tepat.  Seakan pikiran telah jauh berlari sementara 'fisiknya' tidak bergerak  sedikitpun - atau layaknya orang yang berenang di pantai dan melihat  sirip ikah hiu menuju kearahnya, tapi doi berenang gaya punggung sambil  siul-siul. 'Keenakan', atau bahasa 'dangdutnya' terlena. Atau boleh ngga  kalau gua bilang sebenernya kita 'terlalu takut' untuk mengambil sebuah  resiko - terlalu takut untuk 'kehilangan' - terlalu takut untuk  'memulai lagi' - terlalu takut untuk 'berbeda pandangan dengan orang  lain' - terlalu takut untuk sama seperti orang lain - terlalu takut  untuk 'dikucilkan komunitas' - terlalu takut untuk 'sendiri' - terlalu  takut untuk 'terlalu takut' - terlalu takut untuk 'tidak tepat'. Mungkin  kalau orang yang masih skeptis, bilangnya; "gua bukannya takut, tapi  males", a.k.a 'sama aja'.
Pernah  ga Lo liat, let say temen SMA deh.. dulunya ngeband di PENSI, gondrong,  lulus SMA bareng, beler, jago brantem (katanya), ngomongin politik,  ngakalin cewe mulu, dll - suatu saat Lo ketemu lagi dan ngobrol banyak.  Dari terakhir Lo ketemu dia 5 tahun yang lalu, kondisi doi masih sama  persis, cuma bedanya kalau dulu main di PENSI, sekarang mulai tertarik  nge-DJ. Atau, ketika Lo berperan jadi temen curhat yang baik, temen Lo  mewek abis-abisan gara-gara (katanya) cowonya bajingan - dia ini itu ini  itu ngak ngak nguk nguk,,, dan 3 bulan kemudian doi telepon Lo lagi  ngulang cerita yang sama dengan cowo yang sama. Atau, ketika Lo punya  segudang cita-cita dan 'kayaknya' memang tau gimana caranya untuk sampai  ke situ, tapi disaat kembali ke 'dunia nyata' ternyata skripsi Lo yang  ditunda-tunda mulu itu blom juga dimulai. Ibarat baris mungkin itu yang  namanya 'istirahat ditempat'. Sering banget kita lihat orang yang  kenceng banget perjalanan hidupnya, padahal dulu mulainya bareng. Banyak  kita lihat 'teman sebangku' yang sekarang udah bisa beli mobil sendiri -  bisa berkarya dan punya 'nama' - bisa punya hubungan serius dan berani  untuk menikah, dll. Hehehe,, pertanyaan besar dari hal ini mungkin;  "anjing, gua ngapain aja selama ini?". Kalo kata buku Taxi Driver  Wisdom, "If someone get rich, I do not cheer for them. I weep for  myself".
Tapi dibalik itu  semua, kita selalu mikir kalau itu cuma impian. Ujung-ujungnya kita  biasanya memilih untuk sesuatu yang 'pasti-pasti aja'. Ga ada yang salah  dengan itu. Ya maklum aja, namanya juga obrolan iseng - cuma iseng  doang mikir; "mungkin ga ya kalau gua berhenti ngeband, kali aja kuliah  gua bisa beres?" - "mungkin ga ya kalau gua cari kerjaan yang bener,  kali aja gua bisa nabung?" - "mungkin ga ya kalau gua pindah kantor,  kali aja gaji gua lebih bagus?" - "mungkin ga ya kalau gua putusin  'dia', kali aja pacar baru bisa  bikin gua lebih seneng?" - "mungkin ga  ya kalau gua bla bla bla, kali aja gua bisa bla bla bla?". Jadi, kapan  dong bisa berubah, berubah jadi orang yang ada di pikiran kita  masing-masing.
Kayaknya udah  terlalu capek buat nyalahin nasib yah, bukan nasib soalnya yang jadi  masalah, tapi kita emang sama sekali ga bergerak. Comfort zone emang  ternyata berbahaya, karena punya musuh yang namanya, waktu. Tapi  lagi-lagi ada pertanyaan besar; "kapan gua bisa bilang sekarang waktu  yang tepat?", dan "kapan gua bisa bilang sekarang belum saatnya?". Kalau  kata Mario Teguh, "ga ada orang yang bisa 'sampai' hanya karena  pikirannya, jadi bertindaklah". Tapi kalau kata gw  "ngopi dulu aahhh" - kali aja klo udah ngopi pikiran jadi lebih jernih -  dan jadi bisa bilang; "If it has to be, it is up to me".